BG
Mbak Yuli Pembantu Mesumku

Mbak Yuli Pembantu Mesumku

Konvensional ⭐ 0.0/5 👀 21x dibaca

Aku diangkat jadi manager area sebuah perusahaan consumer goods. Kantorku di

Jakarta dan diberi fasilitas rumah kontrakan tipe 45. Setelah 2-3 minggu tinggal

sendirian di rumah itu lama-lama aku merasa capai juga karena harus melakukan

pekerjaan rumah tangga seperti nyapu, ngepel, cuci pakaian, cuci perabot, bersih-

bersih rumah tiap hari. Akhirnya kuputuskan cari pembantu rumah tangga yang

kugaji sendiri daripada aku sakit. Lewat sebuah biro tenaga kerja, sore itu

datanglah seorang wanita sekitar 35 tahunan, Yulianti namanya, berasal dari

Jakarta dan sudah punya dua anak yang tinggal bersama ortunya di Ciputat.

"Anaknya ditinggal dengan neneknya tidak apa-apa, Mbak?" tanyaku.

"Tidak, pak. Mereka kan sudah besar-besar, sudah SMP dan SD kelas 6," jawabnya.

"Lalu suami Mbak Yuli dimana?"

"Sudah cerai satu tahun lalu, pak."

"Ooo.. pernah kerja di mana saja, Mbak?"

"Ikut rumah tangga, tapi berhenti karena saya tidak kuat harus kerja terus dari

pagi sampai malam, maklum keluarga itu anaknya banyak dan masih kecil-kecil..

Kalau di sini kan katanya hanya bapak sendiri yang tinggal, jadi pekerjaannya tidak

berat sekali."

Dengan janji akan kucoba dulu selama sebulan, jadilah Mbak Yuli mulai kerja hari

itu juga dan tinggal bersamaku. Dia kuberi satu kamar, karena memang rumahku

hanya punya dua kamar. Tugas rutinnya, kalau pagi sebelum aku ke kantor

membersihkan kamarku dan menyiapkan sarapanku. Setelah aku ke kantor

barulah ruangan lain, nyuci, belanja, masak dst. Dia kubuatkan kunci duplikat

untuk keluar masuk rumah dan pagar depan. Setelah seminggu tinggal bersama,

kami bertambah akrab. Kalau di rumah dan tidak ada tamu dia kusuruh

memanggilku "Mas" bukan "bapak". Beruntung dia jujur dan pintar masak

sehingga setiap pagi dan malam hari aku dapat makan di rumah, tidak seperti dulu

selalu jajan ke luar. Waktu makan malam Mbak Yuli biasanya juga kuajak makan

semeja denganku. Biasanya, selesai cuci piring dia nonton TV. Duduk di permadani

yang kugelar di depan pesawat. Kalau tidak ada kerjaan yang harus dilembur aku

pun ikut nonton TV. Aku suka nonton TV sambil tiduran di permadani, sampai-

sampai ketiduran dan seringkali dibangunkan Mbak Yuli supaya pindah ke kamar.

Suhu udara Jakarta yang tinggi sering membuat libidoku jadi cepat tinggi juga.

Lebih lagi hanya tinggal berdua dengan Mbak Yuli dan setiap hari menatap liku-

liku tubuh semoknya, terutama kalau dia pakai daster di atas paha. Maka lalu

kupikir-pikir rencana terbaik untuk bisa mendekap tubuhnya. Bisa saja sih aku

tembak langsung memperkosanya toh dia nggak bakal melawan majikan, tapi aku

bukan orang jenis itu. Menikmatinya perlahan-lahan tentu lebih memberi

kepuasan daripada langsung tembak dan cuma dapat nikmat sesaat.

"Mbak Yuli bisa mijit nggak?" tanyaku ketika suatu malam kami nonton TV bareng.

Dia duduk dan aku tiduran di permadani.

"Kalau asal-asalan sih bisa, Mas," jawabnya lugu.

"Nggak apa-apa, Mbak. Ini lho, punggungku kaku banget.. Seharian duduk terus

sampai nggak sempat makan siang. "Tolong dipijat ya, Mbak.." sambil aku

tengkurap.

Mbak Yuli pun bersimpuh di sebelahku. Tangannya mulai memijat punggungku

tapi matanya tetap mengikuti sinetron di TV. Uuhh.. nikmatnya disentuh wanita

ini. Mata kupejamkan, menikmati. Saat itu aku sengaja tidak pakai CD (celana

dalam) dan hanya pakai celana olahraga longgar.

"Mijatnya sampai kaki ya, Mbak," pintaku ketika layar TV menayangkan iklan.

"Ya, Mas," lalu pijatan Mbak Yuli mulai menuruni pinggangku, terus ke pantat.

"Tekan lebih keras, Mbak," pintaku lagi dan Mbak Yuli pun menekan pantatku

lebih keras.

Penisku jadi tergencet ke permadani, nikmat, greng dan semakin.. berkembang.

Aku tak tahu apakah Mbak Yuli merasakan kalau aku tak pakai CD atau tidak.

Tangannya terus meluncur ke pahaku, betis hingga telapak kaki. Cukup lama juga,

hampir 30 menit.

"Sudah capai belum, Mbak?"

"Belum, Mas."

"Kalau capai, sini gantian, Mbak kupijitin," usulku sambil bangkit duduk.

"Nggak usah, Mas."

"Nggak apa-apa, Mbak. Sekarang gantian Mbak Yuli tengkurap," setengah paksa

dan merajuk seperti anak-anak kutarik tangannya dan mendorong badannya

supaya telungkup.

"Ah, Mas ini, saya jadi malu.."

"Malu sama siapa, Mbak? Kan nggak ada orang lain?"

Agak canggung dia telungkup dan langsung kutekan dan kupijit punggungnya

supaya lebih tiarap lagi. Kuremas-remas dan kupijit-pijit punggung dan

pinggangnya.

"Kurang keras nggak, Mbak?"

"Cukup, Mas.." Sementara matanya sekarang sudah tidak lagi terlalu konsentrasi

ke layar kaca. Kadang merem melek. Tanganku mencapai pantatnya yang tertutup

daster. Kuremas, kutekan, kadang tanganku kusisipkan di antara pahanya hingga

dasternya mencetak pantat gempal itu. Kusengaja berlama-lama mengolah

pantatnya, toh dia diam saja.

"Pantat Mbak empuk lo.." godaku sambil sedikit kucubit.

"Ah, Mas ini bisa saja.. Mbak jadi malu ah, masak pembantu dipijitin juragannya..

Sudah ah, Mas.." pintanya.

Sambil berusaha berdiri.

"Sabar, Mbak, belum sampai ke bawah," kataku sambil mendorongnya balik ke

permadani.

"Aku masih kuat kok."

Tanganku bergerak ke arah pahanya. Meremas-remas mulai di atas lutut yang

tidak tertutup daster, lalu makin naik dan naik merambat ke balik dasternya. Mbak

Yuli mula-mula diam namun ketika tanganku makin tinggi memasuki dasternya ia

jadi gelisah.

"Sudah, Mas.."

"Tenang saja, Mbak.. Biar capainya hilang," sahutku sambil menempelkan bagian

depan celanaku yang menonjol ke samping pahanya yang kanan sementara

tanganku memijat sisi kiri pahanya. Sengaja kutekankan "tonjolan"ku. Dan seolah

tanpa sengaja kadang-kadang kulingkarkan jari tangan ke salah satu pahanya lalu

kudorong ke atas hingga menyentuh bawah vaginanya. Tentu saja gerakanku

masih di luar dasternya supaya ia tidak menolak. Ingin kulihat reaksinya. Dan yang

terdengar hanya eh.. eh.. eh.. tiap kali tanganku mendorong ke atas.

"Sekarang balik, Mbak, biar depannya kupijat sekalian.."

"Cukup, Mas, nanti capai.."

"Nggak apa-apa, Mbak, nanti gantian Mbak Yuli mijit aku lagi.."

Kudorong balik tubuhnya sampai telentang. Daster di bagian pahanya agak

terangkat naik. Mula-mula betisnya kupijat lagi lalu tanganku merayap ke arah

pahanya. Naik dan terus naik dan dasternya kusibak sedikit sedikit sampai

kelihatan CD-nya.

"Mbak Yuli pakai celana item ya?" gurauku sampai dia malu-malu.

"Saya jadi malu, Mas, kelihatan celananya.." sambil tangannya berusaha

menurunkan dasternya lagi.

"Alaa.. yang penting kan nggak kelihatan isinya to, Mbak.." godaku lagi sambil

menahan tangannya dan mengelus gundukan CD-nya dan membuat Mbak Yuli

menggelinjang.

Tangannya berusaha menepis tanganku. Melihat reaksinya yang tidak terlalu

menolak, aku tambah berani. Dasternya makin kusingkap sehingga kedua pahanya

yang besar mengkal terpampang di depanku. Namun aku tidak terburu nafsu.

Kusibakkan kedua belah paha itu ke kiri-kanan lalu aku duduk di sela-selanya.

Kupijat-pijat pangkal paha sekitar selangkangannya sambil sesekali jariku nakal

menelusupi CD-nya.

"Egh.. egh.. sudah Mas, nanti keterusan.." tolaknya lemah.

Tangannya berusaha menahan tanganku, tapi tubuhnya tak menunjukkan reaksi

menolak malah tergial-gial setiap kali menanggapi pijitanku.

"Keterusan gimana, Mbak?" tanyaku pura-pura bodoh sambil memajukan posisi

dudukku sehingga penisku hampir menyentuh CD-nya. Dia diam saja sambil tetap

memegangi tanganku supaya tidak keterusan.

"Ya deh, sekarang perutnya ya, Mbak.."

Tanganku meluncur ke arah perutnya sambil membungkuk di antara pahanya.

Sambil memijat dan mengelus-elus perutnya, otomatis zakarku (yang masih

terbungkus celana) menekan CD-nya. Merasa ada tekanan di CD-nya Mbak Yuli

segera bangun.

"Jangan Mas.. nanti keterusan.. Tidak baik.." lalu memegang tanganku dan

setengah menariknya.

Kontan tubuhku malah tertarik maju dan menimpanya. Posisi zakarku tetap

menekan selangkangannya sedang wajah kami berhadap-hadapan sampai

hembusan nafasnya terasa.

"Jangan, Mas.. jangan.." pintanya lemah.

"Cuma begini saja, nggak apa-apa kan Mbak?" ujarku sambil mengecup pipinya.

"Aku janji, Mbak, kita hanya akan begini saja dan tidak sampai copot celana,"

sambil kupandang matanya dan pelan kugeser bibirku menuju ke bibirnya.

Dia melengos tapi ketika kepalanya kupegangi dengan dua tangan jadi terdiam.

Begitu pula ketika lidahku menelusuri relung-relung mulutnya dan bibir kami

berciuman. Sesaat kemudian dia pun mulai merespons dengan hisapan-

hisapannya pada lidah dan bibirku.

Targetku hari itu memang belum akan menyetubuhi Mbak Yuli sampai telanjang.

Karena itulah kami selanjutnya hanya berciuman dan berpelukan erat-erat,

kutekan-tekankan pantatku. Bergulingan liar di atas permadani. Kuremas-remas

payudaranya yang montok mengkal di balik daster. Entah berapa jam kami

begituan terus sampai akhirnya kantuk menyerang dan kami tertidur di permadani

sampai pagi. Dan ketika bangun Mbak Yuli jadi tersipu-sipu.

"Maaf ya, Mas," bisiknya sambil memberesi diri.

Tapi tangannya kutarik sampai ia jatuh ke pelukanku lagi.

"Nggak apa-apa, Mbak. Aku suka kok tidur sambil pelukan kayak tadi. Tiap malam

juga boleh kok.." candaku.

Mbak Yuli melengos ketika melihat tonjolan besar di celanaku.

Sejak saat itu hubunganku dengan Mbak Yuli semakin hangat saja. Aku bebas

memeluk dan menciumnya kapan saja. Bagai istri sendiri. Dan terutama waktu

tidur, kami jadi lebih suka tidur berdua. Entah di kamarku, di kamarnya atau di

atas permadani. Sengaja selama ini aku menahan diri untuk tidak memaksanya

telanjang total dan berhubungan kelamin. Dengan berlama-lama menahan diri ini

lebih indah dan nikmat rasanya, sama seperti kalau kita menyimpan makanan

terenak untuk disantap paling akhir.

Hingga suatu malam di ranjangku yang besar kami saling berpelukan. Aku

bertelanjang dada dan Mbak Yuli pakai daster. Masih sekitar jam 9 waktu itu dan

kami terus asyik berciuman, berpagutan, berpelukan erat-erat saling raba, pijat,

remas. Kuselusupkan tanganku di bawah dasternya lalu menariknya ke atas. Terus

ke atas hingga pahanya menganga, perutnya terbuka dan akhirnya beha putihnya

nampak menantang. Tanpa bicara dasternya terus kulepas lewat kepalanya.

"Jangan, Mas.." Mbak Yuli menolak.

"Nggak apa-apa, Mbak, cuma dasternya kan.." rayuku.

Dia jadi melepaskan tanganku. Juga diam saja ketika aku terang-terangan

membuka celana luarku hingga kami sekarang tinggal berpakaian dalam. Kembali

tubuh gempal janda montok itu kugeluti, kuhisap-hisap puncak branya yang

nampak kekecilan menampung teteknya. Mbak Yuli mendesis-desis sambil

meremasi rambut kepalaku dan mengapitkan pahanya kuat-kuat ke pahaku.

"Mbak Yuli pingin kita telanjang?" tanyaku.

"Jangan, Mas. Pingin sih pingin.. tapi.. gimana ya.."

"Sudah berapa lama Mbak Yuli tidak ngeseks?"

"Ya sejak cerai Mas..."

"Pasti Mbak jadi sering masturbasi ya?"

"Kadang-kadang kalau sudah nggak tahan, Mas.."

"Kalau main dengan pria lain?"

"Belum pernah, Mas.."

"Masak sih, Mbak? masak nggak ada yang mau?"

"Bukan begitu, tapi aku yang nggak mau, Mas.."

"Kalau sama aku kok mau sih, Mbak?" godaku lagi.

"Ah, kan Mas yang mulai.. dan lagi, kita kan nggak sampai anu.."

"Anu apa, Mbak?"

"Ya itu.. telanjang gitu.."

"Sekarang kita telanjang ya, Mbak.."

"Eee.. kalau hamil gimana, Mas?"

"Aku pakai kondom deh.."

"Ng.. tapi itu kan dosa, Mas?"

"Kalau yang sekarang ini dosa nggak, Mbak?" tanyaku mentesnya.

"Eee.. sedikit, Mas," jawabnya bingung.

Aku tersenyum mendengar jawaban mengambang itu dan kembali memeluk erat-

erat tubuh sekalnya yang menggemaskan. Kuremas dan kucium-cium pembungkus

teteknya. Ia memeluk punggungku lebih erat. Kuraba-raba belakang punggungnya

mencari lalu melepas kaitan branya.

"Ja..jangan, Mas.." Bisiknya tanpa reaksi menolak dan kulanjutkan gerakanku.

Mbak Yuli hanya melenguh kecil ketika branya kutarik dan kulemparkan entah

kemana. Dua buah semangka segar itu langsung kukemut-kemut putingnya.

Kuhisap, kumasukkan mulut sebesar-besarnya, kugelegak, sambil kulepas CD-ku.

Mbak Yuli terus mendesis-desis dan bergetar-getar tubuhnya. Kami bergumul

berguling-guling. Kutekan-tekan selangkangannya dengan zakarku.

"Gimana, Mbak.. sudah siap kuperawani?" tanganku menjangkau CD-nya dan

hendak melepasnya.

"Jangan, Mas. Kalau hamil gimana?"

"Ya ditunggu saja sampai lahir to, Mbak.." gurauku sambil berusaha menarik lepas

CD-nya.

Mbak Yuli berusaha memegangi CD-nya tapi seranganku di bagian atas tubuhnya

membuatnya geli dan tangannya jadi lengah. Cd-nya pun merosot melewati

pantatnya.

"Kalau hamil, siapa yang ngurus bayinya?"

"Ya, Mbak lah, kan itu anakmu.. tugasku kan cuma bikin anak, bukan ngurusi

anak.." godaku terus.

"Dasar, mau enaknya sendiri.." Mbak Yuli memukulku pelan, tangannya berusaha

menjangkau CD dari bawah pahanya tapi kalah cepat dengan gerakanku melepas

CD itu dari kakinya. Buru-buru kukangkangkan pahanya lalu kubenamkan lidahku

ke situ. Slep.. slep.. slep.. Mbak Yuli melenguh dan menggeliat lagi sambil

meremasi kepalaku. Nampak dia berada dalam kenikmatan. Beberapa menit

kemudian, aku memutar posisi tubuhku sampai batang zakarku tepat di mulutnya

sementara lidahku tetap beroperasi di vulvanya. Dengan agak canggung-canggung

dia mulai menjilati, mengulum dan menghisapnya. Vulvanya mulai basah, zakarku

menegang panjang. Eksplorasi dengan lidah kuteruskan sementara tanganku

memijit-mijit sekitar selangkangan hingga anusnya.

"Agh.. agh.. Maas.. ak.. aku.."

Mbak Yuli tak mampu bersuara lagi, hanya pantatnya terasa kejang berkejat-kejat

dan mengalirlah cairan maninya mengaliri mulutku. Kugelegak sampai habis cairan

bening itu.

"Isap anuku lebih keras, Mbak!" perintahku ketika kurasakan maniku juga sudah di

ujung zakar.

Dan benar saja, begitu diisap lebih keras sebentar kemudian spermaku

menyembur masuk ke kerongkongan Mbak Yuli yang buru-buru melepasnya

sampai mulutnya tersedak berlepotan sperma. Kami pun terjelepak kelelahan.

Kuputar tubuhku lagi dan malam itu kami tidur telanjang berpelukan untuk

pertama kalinya. Tapi zakarku tetap tidak memerawani vaginanya. Aku masih ingin

menyimpan "makanan terenak" itu berlama-lama.

Selanjutnya kegiatan oral seks jadi kegemaran kami setiap hari. Entah pagi, siang

maupun malam bila salah satu dari kami (biasanya aku yang berinisiatif) ingin

bersetubuh ya langsung saja tancap. Entah itu di kamar, sambil mandi bersama

atau bergulingan di permadani. Tiap hari kami mandi keramas dan entah berapa

banyak bercak mani di permadani. Selama itu aku masih bertahan dan paling

banter hanya memasukkan kepala zakarku ke vaginanya lalu kutarik lagi.

Batangnya tidak sampai masuk meski kadang Mbak Yuli sudah ingin sekali dan

menekan-nekan pantatku. "Kok nggak jadi masuk, Mas?" tanyanya suatu hari.

"Apa Mbak siap hamil?" balikku.

"Kan aku bisa minum pil kabe to Mas.."

"Bener nih Mbak rela?" jawabku menggodanya sambil memasukkan lagi kepala

zakarku ke memeknya yang sudah basah kuyup.

"Heeh, Mas," dia mengangguk.

"Mbak nggak merasa bersalah sama suami?"

"Kan sudah cerai, Mas."

"Sama anak-anak?"

Ia terdiam sesaat, lalu jawabnya lirih, "A.a.. aku kan juga masih butuh seks, Mas.."

"Mana yang Mbak butuhkan, seks atau suami?" tanyaku terus ingin tahu isi

hatinya.

Kuangkat lagi kepala zakarku dari mulut memeknya lalu kusisipkan saja di sela-sela

pahanya.

"Pinginnya sih suami, Mas.. tapi kalo Mas jadi suamiku kan nggak mungkin to.. Aku

ini kan cuma orang desa dan pembantu.." jawabnya jujur.

"Jadi, kalau sama aku cuma butuh seksnya aja ya Mbak? Mbak cuma butuh

nikmatnya kan? Mbak Yuli pingin bisa orgasme tiap hari kan?"

Mbak Yuli tersipu. Tidak menjawab malah memegang kepalaku dan menyosor

bibirku dengan bibirnya. Kami kembali berpagutan dan bergulingan. Zakar besar

tegangku terjepit di sela pahanya lalu cepat-cepat aku berbalik tubuh dan

memasukkan ke mulutnya. Otomatis Mbak Yuli menghisap kuat-kuat zakarku sama

seperti aku yang segera mengobok-obok vaginanya dengan tiga jari dan lidahku.

Sejenak kemudian kembali kami orgasme dan ejakulasi hampir bersamaan. Yah,

bisakah pembaca bersetubuh seperti kami? Saling memuasi tanpa memasukkan

zakar ke vagina.

Hubungan nikmat ini terus berlangsung hingga suatu sore sepulangku kerja Mbak

Yuli memberiku sekaplet pil kabe dan sekotak kondom kepadaku.

"Sekarang terserah Mas, mau pakai yang mana? Mbak sudah siap.." tantangnya.

Aku jadi membayangkan penisku memompa vaginanya yang menggunduk itu.

"Mbak benar-benar ikhlas?" tanyaku.

"Lha memang selama ini apa Mas? Saya kan sudah pasrah diapakan saja sama

Mas."

"Mbak tidak kuatir meskipun aku nggak bakalan jadi suami Mbak?" lanjutku

sambil berjaga-jaga untuk menghindari resiko bila terjadi sesuatu di belakang hari.

"Saya sudah ikhlas lega, mau dikawini saja tiap hari atau dinikahi sekalian terserah

Mas saja. Saya benar-benar tidak ada pamrih apa-apa di belakang nanti.. Saya

hanya ingin kita berhubungan seks dengan maksimal.. tidak setengah-setengah

seperti sekarang ini.."

Haah, ternyata Mbak Yuli pun jadi berkobar nafsu syahwatnya setelah

berhubungan seks denganku secara khusus selama ini. Ternyata wanita ini

memendam hasrat seksual yang besar juga. Sampai rela mengorbankan harga

dirinya. Aku jadi tak tega, tapi sekaligus senang karena tidak bakal menanggung

resiko apapun dalam berhubungan seks dengan dia. Aku selama ini kan memang

hanya mengejar nafsu dan nampaknya Mbak Yuli pun terbawa iramaku itu. Ya,

seks hanya untuk kesenangan nafsu dan tubuh. Tanpa rasa cinta. Tidak perlu ada

ketakutan terhadap resiko harus menikahi, punya anak dsb. Kapan lagi aku dapat

prt sekaligus pemuas nafsu dengan tarif semurah ini (gajinya sebulan 1 juta

rupiah kadang kutambah 150 atau 200 ribu kalau ada rejeki lebih). Bandingkan

biayanya bila aku harus cari wanita penghibur setiap hari. Dan kayaknya yang

seperti inilah yang disukai para pria pengobral zakar. Mau nikmatnya, nggak mau

pahitnya. Begitu, kan? He he he..

"Sekarang aku mau mandi dulu, Mbak. Urusan itu pikirin nanti saja," jawabku

sambil melepas pakaian dan jalan ke kamar mandi bertelanjang.

Kutarik tangan Mbak Yuli untuk menemaniku mandi. Pakaiannya pun sudah

kulepasi sebelum kami sampai ke pintu kamar mandi. Hal seperti ini sudah biasa

kami lakukan. Saling menggosok dan memandikan sambil membangkitkan nafsu-

nafsu erotis kami. Dan acara mandi bersama selalu berakhir dengan tumpahnya

sperma dan mani kami bersama-sama karena saling isep.

Dan godaan untuk bermain seks dengan tuntas semakin besar setelah ada pil kabe

dan kondom yang dibeli Mbak Yuli. Esok malamnya eksperimen itu akan kami

mulai dengan kondom lebih dulu. Soalnya aku takut kalau ada efek samping bila

Mbak Yuli minum pil kabe. Kata orang kalau nggak cocok malah bikin kering rahim.

Kan kasihan kalau orang semontok Mbak Yuli rahimnya kering. Malam itu seusai

makan malam dan nonton TV sampai jam sembilan, kami mulai bergulingan di

permadani. Satu persatu penutup tubuh kami bertebaran di lantai. Putingya

kupelintir dan sebelah lagi kukemut dan kugigit-gigit kecil sementara tangan

kananku menggosok-gosok pintu memek Mbak Yuli sampai dia mengerang-erang

mau orgasme.

"Sekarang pakai ya, Mas," bisiknya sambil menggenggam kencang zakarku yang

tegang memanjang.

"Heeh," jawabku lalu dia menjangkau sebungkus kondom yang sudah disediakan

di sebelah TV.

Disobeknya lalu karet tipis berminyak itu pelan-pelan disarungkannya ke penisku.

Mbak Yuli nampak hati-hati sekali.

"Wah, jadi gak bisa diisep Mbak nih," kataku.

"Kan yang ngisep ganti mulut bawah, Mas.." Guraunya membuatku tersenyum

sambil terus meremas-remas teteknya.

Sleeb.. lalu karet tipis itupun digulungnya turun sampai menutupi seluruh

batangku.

"Sudah, Mas," katanya sambil menelentangkan tubuh dan mengangkan pahanya

lebar-lebar.

Perlahan aku mengangkanginya.

"Sekarang ya, Mbak," bisikku sambil memeluknya mesra.

Mbak Yuli memejamkan mata. Perlahan zakarku dipegang, diarahkan ke lobang

nikmatnya. Kuoser-oser sebentar di depan pintunya barulah kudesakkan masuk.

Masuk separuh. Mbak Yuli melenguh..

"Sakit Mbak?"

"Sedikit.."

Kuhentikan sebentar lalu kudorong lagi pelan-pelan dan dia mulai melepasnya.

Bless.. slep.. kugerakkan pantatku maju-mundur naik-turun. Matanya merem

melek, tangan kami berpelukan, tetek tergencet dadaku, bibir kami saling kulum.

Kugenjot terus, kupompa, kubajak, kucangkul, kumasuki, kubenamkan, dalam dan

semakin dalam, gencar, cepat dan kencang. Sampai akhirnya gerakkanku

terhambat ketika mendadak Mbak Yuli memelukkan pahanya erat-erat ke pahaku.

"Akk.. aku sampai Mas.. egh.. egh.."

Dan seerr.. terasa cairan hangat menerpa zakarku. Kuhentikan gerakanku, dan

hanya membenamkannya dalam-dalam. Menekan dan menekan masuk. Rasanya

agak kurang enak karena batangku terbungkus karet tipis itu.

Kubiarkan Mbak Yuli istirahat sejenak sebelum aku mulai memompanya lagi

bertubi-tubi sambil kueksplorasi bagian sensitif tubuhnya hingga dia kembali

terangsang.

"Mbak pingin keluar lagi?" tanyaku.

"Kk.. kalau bisa, Mas.. keluar sama-sama.." ajaknya sambil mulai menggoyang dan

memutar-mutar bokongnya.

Aku merasakan nikmat yang belum pernah kurasakan. Soalnya kan baru pertama

kali ini zakarku menancapi lubangnya. Ternyata hebat juga goyangannya. Goyang

ngebornya Inul, ngecornya Denada atau ngedennya Camelia Malik kalah jauh deh..

soalnya mana mungkin aku ngrasain vagina mereka kan? Dan kenikmatan itu

semakin terasa diujung batangku. Gerakan pompaku semakin cepat dan cepat.

"Mbak.. hh.. hh.. hh.." dengus nafasku terus memacu gerak maju mundur

pantatku.

Sementara dengan tak kalah brutalnya Mbak Yuli melakukan yang sama dari

bawah.

"Ak.. aku sudah mau Mbak.." pelukku ketat ke tubuhnya.

Kutindih, kuhunjamkan dalam-dalam, kuhentakkan ketika sperma keluar dari

ujung batangku. Yang pasti Mbak Yuli tak bakalan merasakan semburannya karena

toh sudah tertampung di ujung kondom. Sejenak kemudian Mbak Yuli pun

meregang dan berkejat-kejat beberapa kali sambil membeliak-beliak matanya. Dia

orgasme lagi. Tubuhnya tetap kutelungkupi. Nafas kami memburu. Mata kami

terpejam kecapaian. "Puas, Mbak?" bisikku sambil mengulum telinganya. Dia

mengangguk kecil. Kami kembali tidur berpelukan. Mungkin dia tengah

membayangkan tidur dengan suaminya. (Sementara aku tidak membayangkan

apapun kecuali sesosok daging mentah kenyal yang siap kugenjot setiap saat).

Hehehe.. kasihan Mbak Yuli kalau dia tahu otak mesumku. Tapi kenapa mesti

dikasihani kalau dia juga menikmati? Ya kan? Ya kan? Aku sering bertanya-tanya:

Bila seorang wanita orgasme ketika dia diperkosa, apakah itu bisa disebut

perkosaan?

Aku dan Mbak Yuli terus mereguk kepuasan dengan pakai kondom. Sayangnya

satu kondom hanya bisa dipakai satu kali main. Kalau lebih dikuatirkan bocor.

Makanya hanya dalam sehari itu kondom satu dus habislah sudah. Anda bisa

hitung sendiri berapa kali aku ejakulasi.

Esoknya, "Mbak, kondomnya habis, mau pakai pil?" tanyaku.

"Boleh," jawabnya santai.

Dan malam itu mulailah ia minum pil sesuai jadwal dan hasilnya.. ternyata kami

lebih puas karena tidak ada lagi selaput karet tipis yang menahan semburan

spermaku memasuki gua garba Mbak Yuli.

"Mas.. Mas.. semprot terus Mas, enak banget.." serunya ketika aku ejakulasi

sambil berkejat-kejat diatas pahanya belasan kali menghunjamkan zakar yang

menyemprot puluhan kali.

Dari cret, crit, crut, crat sampai crot crot crot lalu cret cret cret lagi!! Soal rahim

kering sudah tak kupikir lagi. Biar saja mau kering mau basah wong yang

melakukan manggut-manggut saja tuh. Yah, dalam semalam minimal kami pasti

sampai tiga kali orgasme dan ejakulasi. Sedangkan pagi atau siang tidak selalu

kami lakukan. Kami bagaikan sepasang maniak seks. Ditambah koleksi BluRay

porno yang kutontonkan padanya, Mbak Yuli jadi semakin ahli mengolah

persetubuhan kami jadi kenikmatan tiada tara.

TAMAT

Beri Rating:
★ ★ ★ ★ â˜