BG
Pembantu Sementara Mbak Yuli

Pembantu Sementara Mbak Yuli

Konvensional ⭐ 0.0/5 👀 20x dibaca

Suatu ketika, pembantu yang hampir empat tahun ini bekerja di rumahku mohon

pamit. Dia akan pulang ke kampungnya, sebuah kota kecamatan di Jateng, dan

pekan depan akan segera melangsungkan pernikahan. Karena menikah adalah hak

asasi setiap orang dan lagi pula, kalau kami pikir, usianya sudah hampir 27, cukup

terlambat dibanding dengan gadis-gadis kampung sekelasnya, akhirnya istriku

hanya bisa melepas dan merestuinya. Kendati rencana kepulangan pembantu ini

sebenarnya sudah lama kami ketahui, namun tak urung hari itu istriku blingsatan

juga.

Pasalnya sampai saat ini dia belum juga mendapatkan pengganti. Padahal dia

sudah minta tolong kiri-kanan, ke saudaranya, ke teman-temannya, ke pembantu-

pembantu di sekitar, termasuk ke pembantuku yang akan pulang ini sudah

dipesankan untuk mencari pembantu baru. Tetapi karena mencari pembantu

memang pekerjaan gampang-gampang-susah, kadang gampang sekali dan kadang

susah sekali, dan kebetulan sekarang ini istriku sedang mengalami saat-saat

apesnya (Istriku tak pernah mau mengambil pembantu dari Yayasan Penyalur. Aku

sendiri tidak habis mengerti dengan alasannya. Padahal pikiran normalku bilang,

selama ini opini kita telah terbentuk akibat pemberitaan di surat-kabar yang selalu

menyampaikan hal-hal negatifnya saja).

Kebingungan istriku makin bertambah manakala dia teringat dua pekan ke depan,

kedua anak kami, kelas 1 dan kelas 3 SD, akan liburan kenaikan kelas, dan dia telah

berjanji untuk mengajak keduanya berlibur selama tiga pekan di rumah Kakek-

Neneknya. Meski pun telah kukatakan aku dapat mengurus rumah sendiri,

sementara mereka berlibur, dan pakaian kotorku akan kukirim ke Laundry, tetap

saja istriku kelihatan bimbang. Satu hal yang kusuka dari istriku, dia memang

sangat bertanggungjawab terhadap keluarga. Istriku bilang, Dia merasa tidak enak

dan tidak tenang meninggalkan aku mengurus segalanya sendiri. Dia baru bisa

nyaman berlibur kalau di rumah sudah ada pembantu. Dan Dia kelihatannya

mengalami dilema, antara ragu-ragu dan tak enak, sementara untuk membatalkan

liburan dengan anak-anak tentu hampir mustahil, karena sudah direncanakan

lama, dan dia sendiri tentu tak akan mengecewakan mereka.

Ditengah kegalauan itu, tiba-tiba Fitri, pembantu yang akan pulang kampung ini

mengajukan sebuah usul. Bagaimana kalau dia meminta kakaknya, barang sebulan

dua bulan, menjadi Pembantu Sementara di rumah kami, sebelum istriku

memperoleh pembantu baru atau sambil menunggu kepastian dari calon suami

yang akan dinikahinya. Istriku memang pernah minta izin padaku untuk

mempekerjakan kembali si Fitri, meski sudah menikah, dan disuruhnya si Fitri ini

membujuk sang suami agar berani mengadu nasib di Jakarta. kalau perlu buat

mereka akan dikontrakkan rumah petak di pingiran kompleks. Mendengar usulan

yang tiba-tiba dilontarkan itu, istriku langsung setuju. Toh, dia juga sudah cukup

kenal dengan si kakak pembantuku ini yang bernama Yulianti (istriku

memanggilnya Mbak Yuli).

Sang kakak memang beberapa kali menginap di rumah kami, kalau sedang ke

Jakarta mengunjungi anaknya yang juga bekerja sebagai pembantu di salah satu

rumah di lingkungan kompleksku. Belakangan sudah tidak pernah lagi karena

anaknya itu menikah dengan Satpam Pabrik di kota kecamatan. Melalui

perantaraan si Satpam, keesokan harinya sang kakak telah menginterlokal istriku,

dan ternyata dia menyanggupi kalau hanya untuk sementara. Bukan main

gembiranya istriku ketika menyambutku pulang dari kantor. Wajahnya yang

kemarin kulihat kusut, kini cerah berseri-seri. Akhir pekan itu, kami sekeluarga

berangkat untuk menghadiri resepsi pernikahan Fitri, pembantuku.

Di tengah acara, secara tak sengaja, beberapa kali aku memperhatikan Yuli, sang

kakak yang sebentar lagi akan menjadi pembantu sementara di rumahku. Aku

sendiri tak tahu, kenapa mataku berkali-kali melihat ke arahnya. Tapi lama-lama

akhirnya aku sadar juga. Aku berkali-kali melirik karena memang ada yang menarik

perhatianku. Saat itu Yuli memakai kebaya pesta, yang menurutku biasa-biasa

saja. Tapi karena tubuhnya memang sintal, pada akhirnya kebaya ketat itu

menampilkan lekuk dan celah-celah yang menurutku sangat indah. Terus terang

baru sekali ini aku memperhatikan sang kakak. Waktu dia sering bermalam di

rumahku dulu aku tidak terlalu memperhatikan. Yuli memang agak sedikit lebih

putih dari adiknya. Juga sedikit lebih manis. Dan meski pun sudah mempunyai dua

anak, tubuhnya masih kelihatan kencang.

Usianya dengan Fitri memang terpaut cukup jauh. Dia tersenyum waktu kusalami.

Tangannya halus, bibirnya yg sedikit tebal tapi sensual menampilkan gigi yang

lumayan rapi, sementara leYulig pipit begitu menonjol di kedua pipinya. Dengan

kebayanya ini, semua lekuk tubuhnya seperti tergambar jelas. Belum lagi sebagian

dada dan belahannya yang tersembul. Rasanya aku bisa mengira-ngira betapa

besar buah dada dan betapa padat bongkahan pantatnya yang begitu bahenol.

Hari Sabtu, pekan selanjutnya, setelah pembagian rapor, aku mengantar istri dan

kedua anakku ke bandara untuk segera memulai liburan. Yuli sudah ada di

rumahku sejak Kamis sore. Berarti sudah tiga hari ini dia bekerja. Setelah dari

bandara aku mampir ke SPBU sebentar. Sampai di rumah sudah hampir jam 6.

Anak-anak telepon dan bilang senang sekali liburan di rumah Kakek-Neneknya.

Setelah Mandi aku nonton TV di ruang keluarga, mungkin karena terlalu lelah, Aku

tertidur. Aku baru terbangun sekitar jam setengah sepuluh, karena perutku

bernyanyi minta diisi. Aku ke belakang. Kamar pembantuku sudah gelap. Lalu aku

ke ruang makan dan kulihat sudah ada makanan yang disediakan untukku. Jam 8

pagi hari Minggu, aku bangun. Hari ini aku berencana ke bengkel, merawat ini-itu

dan mengganti ini- itu. Kepada Yuli kubilang kalau aku tidak makan siang di rumah.

Cukup lama aku di bengkel, karena selain merawat ini-itu dan mengganti ini- itu,

aku juga tertarik untuk menambah ini-itu. Dari bengkel terus ke Senayan. Lihat

pameran mobil. Di sana aku cukup senang bisa cuci mata setelah puas melihat

mobilnya, bisa puas juga melihat cewek penjaganya. Bukan main, cewek-cewek

muda itu, kupikir mereka semakin berani menonjolkan lekuk dan memamerkan

keterbukaan. Kalau lama-lama di sini bisa-bisa aku pusing sendiri.

Sampai di rumah, seperti kemarin, aku lalu mandi dan tertidur di ruang TV.

Tersentak bangun sekitar jam sepuluh, makan, dan terus tidur lagi. Sebelum tidur

sempat terlintas bayangan cewek-cewek sexy di pameran mobil tadi siang. Hari

Senin sekitar jam 8 pagi aku bangun. Hari ini hari libur nasional. Aku tidak ingat

ada perayaan apa. Dan karena tidak ke kantor, aku bermalas-malasan dulu di

tempat tidur. Tapi ada sesuatu yang aneh kurasakan. Setelah buang air kecil dan

menyiram ujungnya dengan air dingin tadi, sampai sekarang kemaluanku ternyata

tetap tegak, berdiri dengan gagahnya.

Aku mulai blingsatan. Kurasakan batangku begitu tegangnya. Biasanya setelah

buang air kecil, kemaluanku akan normal lagi. Kupikir pasti gara-gara nonton

pameran mobil kemarin. Untuk menenangkan si “Joni” ini aku lalu keluar, ke

beranda belakang rumahku, membuat kopi, duduk dan merokok sambil membaca

koran kemarin yang belum sempat kubaca. Ku bolak-balik koran dan kuhembus

kuat asap rokok, namun tegangnya batangku belum turun-turun juga. Aku tidak

tahu kalau saat itu, Yuli, pembantu sementara di rumahku sedang berada di kamar

mandi yang letaknya di kiri depanku, di seberang taman tempatku duduk. Rasanya

aku pun dari tadi tidak mendengar guyuran air, atau memang aku sendiri yang

sedang pusing dengan penisku hingga telingaku tak mendengar apa- apa.

Aku sangat kaget ketika Yuli keluar dari kamar mandi itu dengan hanya melilitkan

handuk untuk menutupi tubuhnya. Dengan tenangnya dia berjalan menuju kamar.

Tampaknya dia tidak mengetahui keberadaanku. Aku benar-benar terkesiap

karena tubuh itu kulihat begitu molek. Batangku tambah tegang dan sekarang

malah mulai berdenyut-denyut.

“Yul!”,

Aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba aku memanggilnya. Kulihat dia begitu kaget,

hingga hanya bisa diam mematung. Mungkin tadinya dia pikir aku belum bangun

hingga dia bebas saja keluar kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk.

“Kesini Yul!”,

Kuulangi panggilanku, tetapi tetap belum tahu untuk apa aku memanggilnya. Agak

ragu-ragu dia mendekat. Berjalan perlahan memutar mengelilingi taman menuju

kursi panjang tempatku duduk. Makin dekat kulihat kemontokan tubuhnya.

Handuk itu begitu kecil hingga sebagian dada atas, belahan dada dan sebagian

besar paha putih mulusnya terlihat jelas. Dan handuk itu juga tidak begitu tebal

hingga puting suYuliya kelihatan membayang mencuat dari balik handuk. sungguh

merangsang.

“Ya, Pak”, dari jauh dia sudah berhenti, menunggu. Berdiri agak canggung, kedua

tangannya bergerak bingung seolah ingin menutupi “ketelanjangannya”. Tubuhnya

bertambah putih karena pucat. Wajahnya ditundukkan

“Dekat sini… saya pengen ngomong”, kataku tetap tanpa ide apa pun. “Duduk”,

perintahku, ketika dia sudah dekat, kugeser pantatku memberinya tempat. Dia

mau duduk, tapi ragu-ragu, canggung, mungkin karena dia pikir kalau dia duduk

handuknya pasti akan terangkat lebih tinggi. Aku perintahkan dia sekali lagi untuk

duduk, dan benar saja… seluruh paha sampai ke pinggulnya telah terhidang mulus

di depanku. Batangku kembali berdenyut. Yuli kembali menundukkan wajahnya.

“Lain kali, kalau keluar dari kamar mandi, jangan cuma pakai handuk begitu…”,

kalimat itu tiba-tiba saja keluar dari mulutku. Aku baru sadar kalau dari tadi sejak

aku memanggilnya, cuma syaraf-syaraf refleks-ku saja yang bekerja. Lalu, setelah

berhasil menguasai diri kusempurnakan kalimatku, “Kalau istriku tahu, kamu bisa

dimarahi”. “Ya, Pak”, jawabnya takut-takut. “Kamu mengerti?”, tegasku. “Ya, Pak”,

hanya itu yang keluar dari mulutnya, sementara wajahnya masih menunduk. “Yul,

kalau berbicara dengan saya, tidak perlu menunduk terus seperti itu…”.

Aku coba melembutkan suasana. Aku dan istriku memang tidak menyukai cara-

cara feodal dalam hubungan Majikan-Bedinde. “Seperti adikmu, kamu juga sudah

dianggap seperti keluarga sendiri disini”, ternyata kalimat terakhirku ini berhasil

memancingnya. Dia mengangkat wajah dan memandangku meski hanya sekilas.

Lalu menunduk lagi. “Maaf ya kalau tadi saya marah”, kataku setelah beberapa

saat hening. “Ya, Pak”. “Maksud saya…, saya cuma ngasih tahu kamu…”. “Ya, Pak,

saya mengerti Pak”. “Kamu tahu nggak… apa akibat kamu keluar kamar mandi

cuma pakai handuk begitu?”, tanyaku memancingnya. Dia mengangkat wajahnya,

memandangku sebentar, lalu menggeleng.

“Pengen tahu?”, kataku, dia mengangguk. “Sini!”, Kuraih pundaknya begitu dia

mulai bergeser. lalu kudekatkan kepalaku ke wajahnya. “Ini akibatnya… ‘ini’ saya

jadi tegang…”, bisikku di telinganya sambil menunjuk ke selangkanganku. Kulihat

dia kaget, wajahnya memerah, tersipu malu. Segera kuserang dia dengan kata-

kata kunci. “Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa ya… kan ini gara-gara kamu juga

yang membuat ‘ini’ saya jadi tegang begini…”. “Ya, Pak, saya juga malu Pak kalau

orang lain tahu”, Beres, pikirku.

Kelihatannya dia bisa dipercaya. Tapi rasanya aku masih perlu mengujinya dulu.

Saat itu Penisku semakin tegang. Sebenarnya aku sudah tak sabar ingin segera

menerkam tubuh pembantuku ini. Untung masih dapat kutahan. Aku masih akan

menguji skenarioku dulu. “Kamu sekarang umurnya berapa Yul?”, tanyaku. “44

Pak”. Aku menggeleng lalu menggangguk-angguk. “Masih sekel gini… kamu minum

jamu ya?, pancingku lagi. “Cuma kadang-kadang Pak”. “Benar Yul, badan kamu

kayaknya masih kenceng banget, saya jadi pengen lihat… boleh kan?”, dia agak

terhenyak dan segera memegang tanganku yang sedang berusaha menurunkan

handuknya. Tapi dia cuma memegangnya. Sedang tanganku yang satu lagi dari tadi

tetap berada di pundaknya.

“Malu Pak…”, katanya, tapi dia tetap tidak berusaha menghentikan tanganku yang

kini bahkan telah melepas lepitannya hingga handuk itu melorot. Kulihat tubuhnya

memang indah sekali. Buah dadanya besar, tidak terlalu turun dan tetap kencang.

Perutnya seperti tak berlemak dan bulu-bulu halus di sekitar kemaluannya

berbaris rapi, tidak bisa disembunyikan meski saat itu dia merapatkan kedua

pahanya. Aku meraih payudaranya, mengusap, merasakan kekenyalannya

sebentar lalu mulai memilin putingnya. “Badan kamu luar biasa”, aku mulai

memujinya. “Anu saya jadi makin tegang nih… kamu harus tanggung jawab ya…”,

Lalu kukeluarkan penisku (di rumah aku biasa hanya menggunakan celana pendek

tanpa CD). “Tuh, lihat, dari tadi nggak bisa turun-turun…”, kataku. Kulihat dia

semakin tercekat dan makin malu-malu. tapi dari pandangan matanya aku tahu

dia cukup kaget melihat besarnya batangku yang tegak perkasa. “Kalau sudah

tegang begini susah diturunin lagi… mesti dikeluarin… kalau nggak… saya bisa

pusing… kamu bantu saya ya…”, kulihat ekspresi wajahnya, setengah bingung.

“Yuk, ikut saya ke kamar”, aku segera bangkit, sengaja kulakukan ini untuk

mengujinya dan… ternyata benar, dia ikut bangkit, melilitkan kembali handuk ke

tubuhnya dan berjalan mengikutiku ke kamar. Sampai di kamar aku duduk di tepi

tempat tidur dan kuminta Yuli mendekat.

“Buka aja handuknya Yul… saya pengen lihat lagi badan kamu yang bagus”, kataku

sambil aku pun membuka kaos dan celana pendekku. Lalu aku berbaring dan

kusuruh dia duduk di tepi tempat tidur. Kuraih tangan kanannya dan

kugenggamkan pada batang kemaluanku yang tegang. Lalu kuajak tangannya itu

mulai bergerak naik-turun perlahan di sepanjang batangku. Gerakan seperti

mengocok, namun agak pelan, dan pegangannya pun tidak terlalu erat. Setelah

beberapa kali naik turun kulepaskan tanganku dari tangannya dan kubiarkan

sendiri tangannya bergerak tanpa kutuntun lagi. Tangan Yuli bergerak sendiri,

namun gerakannya masih tetap lemah. Genggamannya pun tidak terlalu kencang,

malah cuma seperti menempel saja.

Kubiarkan saja dulu karena kupikir hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, dia

memang sebenarnya tidak mau atau tidak suka mengocok kemaluanku, tapi

terpaksa. Kedua, dia masih malu-malu dan Ketiga, Dia ingin berlama-lama

mempermainkan penisku. Kemungkinan pertama langsung kugugurkan karena

meski gerakan naik- turunnya tetap lambat namun makin lama genggamannya di

penisku terasa semakin erat. Sambil mencoba menikmati, kupejamkan mata,

mungkin ini bisa membantunya kalau dia memang masih malu. ternyata gerakan

mengocoknya masih tetap lambat dan genggamannya tetap erat, namun jari

telunjuknya mulai sesekali mengusap kepala kemaluanku hingga membuatku geli-

geli nikmat.

Berarti…

Kubiarkan dia sementara waktu mengocok kemaluanku dengan lambat, beberapa

saat kemudian baru kuminta dia untuk mempercepat gerakan. “Agak cepat Yul…

nah gitu… uhhhh…”, dia mulai mempercepat gerakan naik turunnya di sepanjang

batang kemaluanku. Makin lama makin cepat, lalu melambat lagi, mempercepat

lagi, begitu berulang- ulang. Aku hanya diam dan sesekali menggelinjang,

menikmati sensasi yang dilakukan tangannya di batang kemaluanku. Kenikmatan

itu begitu mengalir… makin lama makin deras. Kulihat Yuli sudah mulai berganti-

ganti tangan dan kadang dengan kedua tangannya sekaligus mengocok batangku.

Siku dan lengannya mulai berani ditempelkan di pahaku. Sementara tubuh

telanjangnya mulai berkilat keringat. Kupikir cukup pintar juga Yuli melakukan ini

atau mungkin karena dia telah berumur dan banyak pengalaman. Kemaluanku

makin mengembang saja rasanya hingga terasa sekali seperti telah penuh.

Permainan dua tangan Yuli memang mendatangkan kenikmatan yang hebat.

Seluruh syarafku menegang menahan nikmat itu. Beberapa kali tubuhku terlonjak

ketika jari-jarinya mengusap kepala kemaluanku dan lonjakan itu akan berubah

menjadi gelinjangan manakala jari-jari itu sesekali menyentuh-nyentuh lubang

kecil di ujungnya. Rasanya aku hampir sampai di puncak. Air maniku sepertinya

sudah di ujung. Dengan refleks aku bangkit. Sambil meremas-remas gumpalan

dada montok di depanku, aku muncratkan spermaku sekeras-kerasnya. “Ccrrtt…

ccrrtt… ccrrrrrttttt…”, sementara Yuli terus mengocoknya dengan keras seakan

ingin mengeluarkan seluruh sisa-sisa sperma yang masih ada di batangku. Aku

lemas, namun lega. Kulihat ceceran spermaku banyak sekali di tangannya, juga di

perut, serta di sekitar batang kemaluanku sendiri. Kusuruh dia melapnya, dia

ambil handuknya lalu mulai melap, membersihkan ceceran sperma dengan

handuknya. Buru-buru ingin kucegah, namun tak sempat. Handuknya sudah

banyak cairan hangat dan lengket.

“Ambil kotak tissue itu saja Yul”, perintahku. Dia mulai membersihkankan kedua

tangannya dengan tissue, lalu perutku, dan terakhir membersihkan sisa-sisa

sperma di kemaluanku. Lama sekali dia membersihkan di sela-sela rambut dan

batang kemaluanku itu. Kupikir kalau cuma mengeringkan sisa sperma kok lama

sekali dan mengapa kok tangannya seperti mulai mengelus lagi. Ketika kulirik ke

bawah kulihat ditangannya memang sudah tidak ada kertas tissue lagi. Dia sudah

selesai membersihkan disitu. Sekarang justru dia sedang membelai batangku yang

sudah setengah tiang, dan wajahnya menatapku dengan pandangan yang

menurutku seolah meminta. Tapi aku sendiri tidak begitu yakin. Saat dia mulai lagi

membelai batangku, aku memang segera terangsang, namun kuputuskan sebelum

berbuat, aku harus yakin dulu, si Yuli ini benar-benar bisa dipercaya atau tidak dan

kupikir aku masih punya banyak waktu, sambil terus memantau dan mengujinya.

Terus terang, aku tidak mau rumah tanggaku hancur berantakan. Mulut Yuli

memang bisa jadi tidak mungkin membocorkan rahasia kalau akhirnya aku dan

pembantuku ini jadi selingkuh, namun justru yang kutakutkan adalah bahasa

tubuh dan gerak-geriknya. Apakah nanti bisa memendam rahasia atau tidak.

Merasa sudah cukup puas memperlakukan Yuli sampai saat ini, aku segera

bangkit. Lalu kuucapkan terima kasih padanya dan kupakaikan lagi handuk ke

tubuhnya, jadi seperti isyarat untuk menyuruhnya keluar kamar. Mulanya dia

hanya diam terpaku. Namun akhirnya dia pamit permisi mau ke kamarnya. Tanpa

sepengetahuannya, diam-diam aku menguntit menuju kamarnya. Dan setelah dia

menutup pintu dan menggeser gerendel, aku segera mengintip melalui lubang

kunci. Sebenarnya saat itu aku hanya ingin tahu apa yang akan dia lakukan setelah

kejadian tadi. Apakah dia merenung, menangis, menyesal atau bagaimana. Tapi

yang kulihat di kamarnya sekarang… ternyata dia sedang meremas-remas dadanya

sendiri dengan satu tangan sedang tangan yang lain mengelus-elus selangkangan.

Handuknya sudah tidak dipakainya lagi. Dia telanjang bulat…

Seharian itu aku hanya bermalas-malasan. Baca-baca, Nonton TV, atau main video

game anakku, makan siang dan lalu tidur di ruang tengah. Aku terbangun sekitar

jam empat sore, saat sayup-sayup terdengar suara guyuran air dari arah kamar

mandi belakang. Si Yuli pasti sedang mandi. Aku langsung berdiri dan

menunggunya keluar. Sengaja aku tidak duduk di bangku panjang seperti tadi pagi,

melainkan bersandar di pintu gudang, hingga kalau dia keluar dari kamar mandi

dan berjalan menuju kamarnya, dia akan membelakangiku. Tak berapa lama, Yuli

keluar dan… astaga!, lagi-lagi dia cuma melilitkan selembar handuk untuk

menutupi tubuh telanjangnya. Aku belum tahu, apakah dia benar-benar lupa

dengan pesanku tadi pagi, atau dia memang sengaja melakukannya lagi dengan

harapan…

Dia berjalan membelakangiku menuju kamarnya. Pinggul dan pantatnya terlihat

begitu menggairahkan. “Yuli!!”, segera kupanggil dia. Yuli berbalik, kali ini

tampaknya dia tidak terlalu terkejut. “Sini kamu”, dia berjalan ke arahku, aku pun

mendekatinya. Kulihat wajahnya seperti tadi pagi, putih pucat, tapi kali ini

tubuhnya gemetaran hebat. “Tadi pagi kan sudah saya bilang, jangan keluar kamar

mandi cuma pakai handuk begitu!”, kataku dengan suara agak keras. “Iya, Pak…

saya… saya… eh…”, dia agak terbata-bata. “Kamu lupa ya?”, maksudku sih cuma

untuk membantu menenangkannya. “Iya, Pak… saya lupa”, jawabnya, sesuai

perkiraanku.

“Ya sudah”, kataku lagi. “Tapi…, ‘ini’ saya jadi tegang lagi nih”, kataku berbohong

sambil menunjuk selangkanganku. “Ayo kita ke kamar”, perintahku. Sampai di

kamar aku langsung berbaring. Mencopot baju kaos tapi tidak melepas celana

pendek. Sementara dia langsung duduk di tepi tempat tidur. “Kamu lepas dulu deh

handuknya”, perintahku. Lalu setelah handuknya dilepas, kubiarkan dia beberapa

saat. Aku mau tahu reaksinya dan kalau perlu aku ingin dia yang memulai. Tapi

karena lama dia tidak melakukan apa-apa, kutegur dia. “Ayo dong Yul… seperti

tadi pagi”, kataku, tapi aku tetap tidak melepas celana pendek. Aku ingin dia

merogohku. Perlahan tangannya bergerak… menyusup di celana pendekku dan…

dia merogoh penisku. Keningnya berkerut dan spontan dia bertanya.

“Kok masih lemes Pak?”, sambil mencuri pandang ke arahku dan mulai mengelus-

elus batangku. “Kamunya kelamaan sih… jadinya lemes lagi”, kataku sekenanya.

Dia terus mengelus batangku, memijit, mengusap ujung kepalanya dan sekarang

mulai meremas-remas. “Kamu bukain aja deh celananya, biar gampang”, kataku

lagi. Dia memelorotkan celana pendekku. Batangku mulai kelihatan tegak. Lalu dia

meremas lagi. Ketika batangku sudah tegak sempurna, kusuruh dia naik ke tempat

tidur dan dia mulai menaik-turunkan genggamannya di penisku seperti tadi pagi.

Di sela-sela kegiatannya mengocok, aku mulai menjalankan aksiku. “Yul.., kamu

terangsang nggak?”, tanyaku sambil melihat ekspresi wajahnya. Dia diam, tapi

terus menunduk.

“Ah, masa kamu nggak terangsang sih”, kataku sambil bangkit. “Sini coba saya

rangsang”, langsung aku memegang buah dadanya, mengelus-elus. Begitu kenyal

dan padat. Dia masih diam. Kuraih putingnya dan kupilin, baru dia tergelinjang

geli. Lalu kudekatkan wajahku ke gumpalan-gumpalan kenyal itu. kuciumi perlahan

satu per satu. mulai kujilat dan akhirnya kukulum putingnya sambil berusaha

merebahkan tubuhnya. Kini dia sudah di bawah tindihanku. Aku terus mengulum

buah dadanya berganti-ganti, yang kiri dan kanan. Kadang ku lumat dengan bibir,

dan sesekali dengan lidah dan gigiku. Kulihat Yuli semakin terbakar. Dia mulai

melenguh dan mengeliat-geliat. Ciumanku lalu kuarahkan ke perutnya dan terus

turun lagi ke selangkangannya. Kuhirup hawanya sebentar. Harum, Gurih, Nikmat.

Kemaluannya begitu tembem, sedang garisnya kulihat begitu kecil. Bulu

kemaluannya hitam. tidak terlalu lebat, tapi sangat menggemaskan. Kukecup

kemaluannya dengan bibirku. Yuli bereaksi dan menarik pinggulnya ke atas

menjauhi wajahku. Segera kukejar, kali ini kemaluannya langsung kucium dan

kujilat. Yuli hanya menggeliat perlahan. Dia terus berusaha menggeser tubuhnya

menjauhi lidahku. Dan sesekali tubuhnya menyentak-nyentak karena geli.

“Gimana… udah terangsang belum Yul”, godaku. “Kalau belum nih saya tambahin”,

kali ini kemaluannya langsung kulumat, kukulum-kulum dan lidahku mencari-cari

klitorisnya. Yuli tetap hanya menggeliat perlahan, tapi lenguhannya semakin keras,

dan sekarang mulai mendesis- desis. Tangan Yuli berusaha maraih rambutku, tapi

kulihat tidak jadi, lalu dia mengeser-geser lagi tubuhnya ke atas, semakin

menjauh. Kuikuti terus dan akhirnya mentok. Dia tidak bisa mundur lagi.

Seranganku semakin kutingkatkan. Bertubi-tubi lidahku menjilat sambil tanganku

berusaha melebarkan kedua pahanya. Kulumat kencang klitorisnya, kuemut,

kuisap dan kadang kigigit-gigit kecil. “Aduh, Pak… Pak… auwww….”, rintihannya

mulai terdengar. Aku jadi tambah bersemangat. Terus kuemut dan Kusedot-sedot

klit-nya yang memang terasa sedikit manis di lidahku.

“Pak… Pak… ohhh… sudah Pak, Geli Pak… awww…”, ceracauannya semakin tak

karuan, dia meliuk-liuk hebat, seperti ular. Kemaluannya terasa semakin hangat

dan basah. Dia benar-benar terangsang sekarang. Tanpa membuang-buang waktu,

segera kuarahkan batang kemaluanku yang tegak perkasa ke daerah

selangkangannya. Kuusap-usapkan ujung penisku ke seluruh permukaan vaginanya

dan terutama sekali di celah kemaluannya. Yuli masih meliuk-liuk dan sesekali

menggelinjang. Lalu kutindih dia hingga batang kemaluanku rapat melintang di

atas vaginanya, terjepit di antara tubuhku dan tubuhnya. Kugesek-gesek penisku di

vaginanya dan kadang kutekan-tekan, kubuat gerakan-gerakan persis seperti

sedang melakukan persetubuhan, tapi batangku tetap tidak kumasukkan. Karena

tegangnya batangku jadinya seperti tengah mengiris-iris belahan vaginanya.

Kulihat Yuli bergairah sekali merasakan gesekan batangku di permukaan

kemaluannya. Apalagi kedua tanganku ikut aktif meremas-remas buah dadanya,

membuatnya tambah menggelinjang-gelinjang. Dia juga bergerak- gerak seperti

sedang melakukan persetubuhan, padahal batangku tetap berada di luar. Lalu, aku

berguling sambil memeluk erat tubuhnya. Posisi Yuli kini ada di atasku,

menindihku, dengan dua kemaluan kami tetap berhimpitan. ada rasa geli di

dadaku karena tergelitik pentil- pentil buah dadanya. Kedua tanganku kini

kuletakkan di kedua bongkahan pantatnya dan perlahan kugerak-gerakkan,

mengajak pinggulnya bergoyang, maju-mundur, hingga kedua kemaluan kami

mulai bergesekan lagi. Karena gerakanku itu, tubuh bagian atas Yuli agak

terangkat, hingga sekarang Yuli seperti sedang menduduki kemaluanku. Aku terus

mengerak-gerakkan pantat Yuli, dengan kecepatan yang kubuat bervariasi, kadang

kumaju-mundurkan, kadang kuangkat-angkat dan kadang kuputar-putar. Lama-

lama kurasakan pantat Yuli telah bergerak sendiri tanpa memerlukan lagi bantuan

tanganku.

Yuli kini aktif menggesek-gesekkan kemaluannya di batangku. Sekarang gerakan

dan gesekannya malah bertambah rapat dan bertambah liar. Yuli kelihatan

semakin dikuasai nafsu birahinya. Dia begitu lupa diri. Apalagi kedua tanganku

yang sekarang dalam posisi bebas mulai meremas dan memilin kedua putingnya.

Dia menggesek sambil menggeliat- geliat. Kubiarkan saja dia mengalami trance

seperti itu, sambil berusaha meresapi kenyalnya buah dada dan hangatnya

gesekan di batangku. Nikmat juga sambil memperhatikan ekspresi wajahnya.

Sekonyong-konyong, Yuli agak merenggangkan tubuhnya dari tubuhku. Tangannya

mulai menggenggam penisku dan tiba-tiba kurasakan ujung kemaluanku telah

menyentuh daerah yang basah namun hangat. Lalu, dia mulai lagi menggerak-

gerakkan pinggulnya, tapi tidak seperti tadi yang maju-mundur, kali ini Yuli

menggerakkan pinggulnya naik-turun, ke atas ke bawah.

Penisku seperti menyundul-nyundul sebuah benda kenyal, nikmat sekali. Yuli terus

menaik-turunkan pinggulnya sambil kulihat sesekali menahan nafas. Tangannya

masih erat menggenggam penisku, sementara matanya terpejam. Beberapa kali

Yuli mengulang-ulang gerakannya hingga kini kepala kemaluanku mulai terjepit di

dalam vaginanya. Yuli terus menambah tekanan pinggulnya, gesekan dinding

dalam kemaluannya mulai terasa di bagian ujung batangku. Menggigit sekali. lalu

dengan satu tekanan yang agak kuat, seperempat dari panjang batangku telah

berada di dalam vaginanya. Yuli mulai bergerak lagi. Dan rasanya sekarang sudah

mulai agak lancar. Untuk sementara waktu dia melakukan gerakan mengocok

seperempat batangku. Dan dengan tambahan sedikit tekanan lagi, setengah

batangku berhasil melesak. Aku benar-benar takjub, karena dengan usianya yang

seperti sekarang, vagina pembantuku ini ternyata masih peret. Aku benar-benar

menikmati gerakan naik-turunnya Yuli di atasku.

Kedua gerakan itu, baik yang turun maupun yang naik, sama-sama memberikan

sensasi nikmat, meski berbeda rasa. Pada saat Yuli naik, urat-urat dan kulit

kemaluanku seperti tertarik, tersedot, sedangkan pada saat dia menurunkan

pinggulnya, kepala kemaluanku seperti menyeruak membelah, seperti

memisahkan dinding yang tadinya berhimpitan. Aku terus mengikuti semua

sensasi itu sampai akhirnya kurasakan seluruh panjang batangku telah berada di

dalam kemaluannya. Saat itu kulihat Yuli agak menghela nafas, lega mungkin. Dan

untuk sementara dia berhenti melakukan gerakan, seperti hendak meresapi dulu

kehangatann seluruh batangku. Sesaat kemudian perlahan dia mulai menaik-

turunkan pinggulnya lagi, lambat-lambat, sedikit-sedikit, sepertinya sayang

melepaskan jepitan pada penisku yang agak susah payah dia masukkan tadi.

Namun lama-lama ia terbawa emosinya lagi. Gerakan naik-turunnya mulai

dipercepat, kadang dia naik cukup tinggi hingga urat batang dan kulit kemaluanku

seperti ditarik ke atas, sampai tinggal kepalanya saja yang berada di dalam

vaginanya, lalu dia hempaskan lagi pinggulnya ke bawah dengan cepat.

Kemaluanku serasa menyelam atau diselamkan, persis seperti gerakan menyelam

seorang peloncat indah yang meluncur dari menara 10 meter. Yuli sangat pandai

memggoyangkan pinggulnya. Selain gerakan ke atas ke bawah, panjang dan

pendek, serta cepat dan lambat, dia juga kadang bergerak memutar. Dan yang

paling kusuka adalah apabila dia melakukan gerakan seperti mengulek

kemaluanku. Posisinya duduk, vaginanya merapat dan batangku menjangkau

begitu dalam, lalu dia bergerak seperti gabungan antara maju-mundur dan keatas

ke bawah, namun sepertinya tidak ada sedikit pun dari batangku yang keluar dari

vaginanya. Kedua kulit di sekitar pangkal kemaluan kami tetap berhimpitan begitu

rapatnya. Semua gerakan itu dilakukannya berulang- ulang, semakin lama semakin

cepat dan semakin liar. Sementara aku hanya sedikit-sedikit saja mengimbangi

dengan mengangkat-angkat pinggulku ke atas. Aku justru lebih berkonsentrasi

menikmati buah dadanya yang bergoyang-goyang indah karena gerakan tubuhnya.

Kadang kuremas, kupilin putingnya dan kadang kukulum kalau mulutku berhasil

menangkapnya jika dia sedang merunduk. Aku yakin remasan dan kulumanku ini

justru makin menambah bahan bakar bagi api gairahnya. Dari posisiku yang

berbaring terlentang, aku dapat melihat saat-saat Yuli sedang mendekati puncak

birahinya. Gerakan mengulek “gado-gado”nya tiba-tiba semakin dipercepat…

semakin dipercepat dan… tiba-tiba berhenti sama sekali. Tubuh Yuli mengejang,

melengkung ke belakang, kedua tangannya memegang pahaku di belakang

tubuhnya, sementara selangkangannya menekan kuat ke bawah hingga batangku

seperti tertancap dalam sekali di vaginanya. Segera saja kedua tanganku

mencengkeram kuat kedua buah dadanya, sambil meilin-milin putingnya, dengan

harapan dapat lebih memambah rasa nikmat dari orgasme yang didapatnya.

Hampir satu menit lamanya bagian dalam kemaluan Yuli berkontraksi, berkedut-

kedut, sambil melepaskan cairan hangat yang kental. Sementara kedua tanganku

kali ini beralih memegang pinggangnya dan menekan pinggulnya ke bawah, hingga

kedua kemaluan kami begitu rapat menyatu. Terasa kepala kemaluanku seperti

menyundul ujung rahimnya yang bergerinjal. Lalu Yuli menjatuhkan badannya

menindihku dengan nafas memburu, tersengal-sengal. Kelihatan sekali dia begitu

lelah, tapi kelihatan sekali bahwa dia juga begitu puas. Kedua putingnya kembali

menimbulkan rasa geli di dadaku. Untuk sementara waktu, kubiarkan dia berada

di atas tubuhku, beristirahat sambil mengatur nafasnya. Kemaluanku masih tegak

dan masih berada di dalam vaginanya. Kupeluk dia, tapi tak begitu erat. Lalu

dengan nada yang kubuat seperti penyesalan, aku berbisik.

“Kok, dimasukin Yul… tadi kan cuma saya gesek-gesek?”, sengaja aku memancing

rasa bersalahnya, seolah-olah bukan aku, tapi dia lah yang berinisiatif melakukan

persetubuhan. “Maaf Pak… saya… saya…”, dia tergagap, pucat, kelihatan sekali dia

tak menyangka akan mendengar pernyataan seperti itu keluar dari mulutku.

“Kamu udah nggak tahan ya?, lanjutku lagi. “Iya Pak… Maaf Pak…”, katanya seperti

menghiba. “Ya sudah”, kataku, lalu pura-pura berpikir sejenak. “Tapi kalau sampai

istri saya tahu… gimana?”, kataku lagi. “Ibu jangan sampai tahu Pak… tolong Pak…

Bapak jangan bilang ke Ibu…”, kulihat wajahnya semakin pucat. Tidak tega aku

menatap wajahnya.

“Bukan begitu… saya kan cuma nanya, bagaimana kalau sampai istri saya tahu…

tapi saya kan nggak mungkin bilang…”. “Saya juga nggak mungkin bilang kok Pak…

Bener pak”, sambarnya cepat. Ah, lega aku… semua skenarioku berjalan lancar.

Selanjutnya, tentu akan lebih mudah bagiku menikmati tubuh pembantu

sementaraku ini. “Kalau begitu, ini jadi rahasia kita berdua… tolong kamu jaga”,

kataku wanti-wanti. “Iya Pak”, katanya sambil berusaha bangkit, tapi buru-buru

kutahan. Aku tak mau batangku lepas begitu saja dari dalam vaginanya. “Kamu

mau kemana… ‘ini’ saya kan belum keluar”, kataku. kugerakkan pinggulku ke atas

seperti menyadarkannya bahwa penisku masih tegang dan ada di dalam

tubuhnya. Yuli kelihatan seperti berpikir sejenak. Lalu…

“Saya keluarin sekarang Pak”, katanya, lagi-lagi dia berusaha bangkit, namun lagi-

lagi pula aku menahannya. Mungkin dia pikir aku menyuruhnya mengocok seperti

tadi pagi. “Tadi kan kamu nyampe dengan ‘ini’ saya… biar imbang… ya, saya juga

mau keluarnya pakai ‘itu’ kamu”, kembali kugerakkan pinggulku. Kelihatan Yuli

agak terhenyak, lalu tersipu. “Memang… Bapak mau beginian sama saya… saya

kan cuma pembantu Pak?”, katanya seperti tak percaya. Aku cuma tersenyum…

“Memangnya… sekarang kita lagi ngapain…?”, kataku, kali ini aku dua kali

mengangkat pinggulku dan kulihat dia makin merah tersipu. “Kamu masih

capek?”, lanjutku lagi, dia mengangguk. Lalu kupeluk erat tubuhnya, kugulingkan

hingga kini aku yang menindihnya, tanpa sama sekali mengeluarkan penisku dari

vaginanya.

“Kalau gitu saya yang bergerak deh… kamu boleh istirahat dulu”, kataku sambil

perlahan mulai memaju-mundurkan batangku di dalam kemaluannya. Kini gantian

aku yang mengoyangnya. Kemaluannya sudah agak licin, tapi tetap sempit.

Bayangkan, licin tapi sempit. Sementara Yuli nampak pelan-pelan ikut bergerak

juga. Untuk menaikkan kembali gairahnya maka kedua buah dada montoknya

kuusap dan kuremas-remas, sesekali putingnya kupilin dengan tangan dan kadang

dengan mulutku. Hidung dan lidahku terus menciumi lehernya, dan supaya lebih

intens, maka bibirnya yang sedikit tebal tapi sensual itu kucium lembut, lalu

kukulum dan akhirnya kulumat. Luar biasa, Yuli membalas lumatanku dan kini

pinggulnya mulai erotis bergerak. Yuli sepertinya telah ON lagi. Dia semakin

mantap mengimbangi gerakan naik-turunku. Setiap variasi gerakan yang kubuat

selalu disambutnya dengan hangat. Aku semakin menikmati persetubuhan ini.

Gerakanku kadang-kadang kupercepat dan kadang-kadang agak kulambatkan.

Gesekan kulit batangku pada dinding vaginanya kadang sedikit sekali tapi kadang

juga hampir di seluruh panjang batangnya. Kedua tubuh kami mulai berkeringat.

Pada saat gelombang kenikmatan itu semakin membesar maka pompaan yang

kulakukan pada tubuhnya makin lama makin kupercepat dan makin liar, juga

makin kuperdalam hingga seperti berasa mentok ke rahimnya. Yuli sampai

tergelinjang-gelinjang sambil memejamkan mata, dan kulihat mulai menggigit

bibirnya. “Kenapa Yul?”, tanyaku sambil terus memompa. “Nggak apa-apa Pak…

rasanya gede bener… auww… Pak!…”, Yuli merintih keenakan ketika penisku

menghunjam sampai bagian yang paling dalam di vaginanya. “Enak?”. “Enak sekali

Pak… auww… panjangnya kerasa…”.

“Kamu suka?”, tanyaku sambil memperhatikan ekspresi wajahnya yang sedang

meresapi kenikmatan batangku. Yuli tidak menjawab, tapi sebagai gantinya, dia

makin erat memeluk pinggangku, dan tubuhnya makin dirapatkan ke tubuhku.

Tangannya menekan pinggangku sementara pinggulnya sendiri kini aktif bergerak

ke atas ke bawah dan berputar- putar. Aku sampai terpejam-pejam merasakan

goyangannya ini. Nikmatnya terasa sampai di ubun-ubun. Batangku terasa

semakin mengembang, cairan spermaku sepertinya sudah terkumpul semua di

situ, siap untuk ditembakkan sewaktu-waktu. Aku pun tak tinggal diam,

pompaanku makin kupercepat, dan kupercepat lagi. Kulihat Yuli pun tampaknya

semakin mendaki menuju puncak tertinggi yang dapat diraih dari sebuah

persetubuhan.

“Yuli… saya… sudah hampir… di dalam apa… di… luarrr…”, tanyaku terputus-putus

oleh nafas nikmat yang kurasakan. “Terserah Bapak…”, jawabnya sambil terus

menggeliat, berusaha mendaki untuk mencapai puncak. “Kamu maunya… di

dalam apa di…”, tanyaku lagi. “Di dalam aja Pak… saya lagi nggak subur kok…

auww…Pak!…”, Yuli makin merintih dan mendesah nikmat ketika tiba-tiba aku

memompa vaginanya dengan cepat, makin cepat, sangat cepat, cepat sekali dan…

Ccrrtt… ccrrtt… ccrrrrrtt… ccrrtt… tubuhku menegang, pompaanku berhenti sama

sekali. Penisku kuhunjamkan sedalam-dalamnya. Banyak sekali cairanku yang

keluar. Tubuh Yuli juga menegang, berhenti menggeliat dan dari dalam vaginanya

kurasakan desiran- desiran yang hangat.

Ahh… Aku puas sekali. Aku masih menindih tubuhnya, sama-sama mulai mengatur

nafas. Batangku masih berada di dalam kemaluannya. Kupandangi wajahnya yang

sedang terpejam, seperti sedang merasakan sisa-sisa kenikmatan yang baru

dialami. “ternyata bersetubuh denganmu jauh lebih nikmat daripada dengan

istriku, padahal wajah istriku jauh lebih manis, dan kulitmu pun tidak seputih atau

semulus kulit istriku… dan bahkan usiamu pun tak semuda istriku”, tapi tentu ini

kata-kataku di dalam hati saja. Aku tidak tahu, apakah karena aku sudah terlalu

sering melakukannya dengan istriku, ataukah karena memang dia memiliki daya

tarik seksual yang luar biasa, atau justru karena usianya yang sudah matang.

Ketika aku berguling, terlentang di sampingnya.

Kulihat Yuli bangun. Lalu dengan handuknya dia mulai membersihkan cairan-

cairan lengket, campuran antara sperma dan cairan vagina di sekitar

selangkangannya. Setelah itu, masih dengan handuk yang sama, dia mulai

membersihkan sisa-sisa sperma di sekitar batang dan rambut kemaluanku.

Caranya membersihkan begitu telaten sekali. Sepertinya dia sayang sekali dengan

batangku ini. Lembut batangku digenggamnya ketika dia mulai melap rambut di

kiri-kanan buah zakarku, sementara buah dadanya merapat erat di pahaku.

Diperlakukan begitu oleh seorang wanita telanjang menggairahkan, tentu saja

penisku yang tadinya akan melemas kini berbalik dan kembali menegang.

Sekarang malah sudah tegang sempurna, siap digunakan bertempur kembali.

Namun karena kupikir aku masih punya banyak waktu, maka untuk sementara

penisku kusuruh istirahat dulu, sambil mengumpulkan tenaga. Dan supaya segar,

lebih baik aku mengajak Yuli mandi bersama. Malam itu aku memintanya supaya

tidak usah menyiapkan makan malam. Urusan perut mudah… tinggal menunggu

tukang makanan yang banyak lewat di depan rumahku. Sate, Nasi Goreng, Mie

dok-dok dan lain-lain. yang lebih penting sekarang adalah urusan di bawah perut.

aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku berdua dengan pembantu sementaraku

ini. Sambil menunggu tukang makanan yang lewat, aku mengajaknya nonton TV.

Tapi tidak diduduk di sofa, melainkan di lantai. Dengan berselonjor kaki, aku

memeluk tubuh Yuli dari belakang. Kusandarkan punggungnya ke dadaku,

sementara kedua tanganku mulai mengarah, satu ke dada dan satu ke

selangkangannya, menyusup lewat bawah dasternya. Begitu kedua tanganku

mendapatkan BH dan CD, segera kuminta dia melepaskannya dan kubilang kalau

sedang berdua saja denganku seperti ini di rumah, tidak perlu memakai BH dan

CD. Yuli mengangguk.

Kubilang pula bahwa kalau di rumah aku pun hanya pakai celana pendek dan

tanpa CD, sambil kuajak tangannya menyusup ke dalam celana pendekku. Yuli

mulai meremas batangku begitu dia mendapatkan kemaluanku yang sudah

tegang. Lalu dia mulai menaik-turunkan tangannya, mengocok penisku. Kedua

tanganku pun tentu tak tinggal diam, jariku yang telah memasuki celah

selangkangannya kini mengusap dan memilin klitorisnya. Yuli mulai tergerinjal-

gerinjal. Kami akhirnya bermain sampai puas di lantai sambil duduk berhadapan,

kakiku berselonjor sedang dia ada di atas pahaku menaik-turunkan pinggulnya.

Setelah diselingi makan malam, sekali lagi kami bermain, tapi kali ini di dalam

kamarku. Sampai sekitar jam 11 malam Yuli pamit karena dia bilang akan tidur di

kamarnya sendiri. Kendati aku sudah memintanya untuk menemani tidur di

kamarku, namun dia menolak, mungkin karena segan.

Karena sudah terlalu lelah dan mengantuk, aku tidak mau memaksa lagi.

Kubiarkan dia meninggalkan kamarku menuju kamarnya sendiri di belakang.

Sekitar jam 4 pagi aku terjaga dan seperti biasa saat baru bangun tidur itu penisku

tegang sekali. Begitu teringat Yuli, aku segera menanggalkan selimutku dan keluar

kamar, telanjang bulat dengan penis mengacung-acung menjuju kamar

pembantuku itu. Kulihat kamar Yuli gelap namun waktu kudorong pintunya

ternyata tidak dikunci. Aku masuk dan setelah mataku menyesuaikan diri dengan

keadaan gelap di dalam, aku mendapatkan seonggok tubuh sedang tidur

berbaring meringkuk membelakangi pintu dan menghadap ke dinding.

Kubaringkan tubuh telanjangku di sebelahnya, lalu kupeluk dia dari belakang

sementara tanganku mulai menggerayangi buah dadanya, sedang penisku

kutempel erat pada bongkahan pantatnya. Segera saja aku tahu bahwa Yuli tidur

hanya memakai daster, tanpa ada apa-apa lagi di dalamnya. Tanganku lalu segera

beralih menyusup lewat bawah dasternya menuju ke selangkangannya, mencari

celah nikmatnya. dan begitu kudapatkan maka jari-jariku mulai mengelus dan

merangsangnya.

Kurasakan Yuli mulai menggeliat-geliat keenakan dan begitu terjaga, dia kaget dan

langsung berbalik menghadap ke arahku. Begitu Yuli tahu yang memeluknya

adalah aku, kelihatan mukanya agak lega. “Ah, Bapak…”, hanya itu yang sempat

keluar dari mulutnya karena seketika itu juga bibirnya kulumat dan tanganku

makin aktif mengelus- elus vaginanya. “saya pengen lagi Yul… abis punya kamu

enak banget”, bisikku. “Punya Bapak juga mantep Pak… saya jadi pengen tiap

hari”.

Nikmat sekali bersetubuh di pagi hari itu. Hari-hari selanjutnya aku dan Yuli selalu

bermain dan mencoba-coba berbagai variasi. Tempatnya kadang-kadang di kamar

tidurku, di kamarnya, di ruang TV, di kamar mandi, di dapur, di dalam mobilku dan

bahkan pernah suatu kali kami menggelar tikar di rumput halaman belakang

rumahku.

Setelah istri dan anak-anakku pulang dari liburan pun, hubungan kami terus

berlanjut, karena memang sangat memungkinkan. Jam 6:30 pagi anak-anakku

sudah dijemput angkutan sekolahnya dan baru tiba di rumah lagi sekitar jam

11:30 siang. Istriku pergi ke kantor dengan mobilnya sendiri tak lama setelah anak-

anakku berangkat sekolah karena dia harus standby di ruang kerjanya sekitar jam

8 pagi. Jam 4:30 dia baru bisa pulang ke rumah. Sedang jam kerjaku sendiri di

kantor baru dimulai 9:30 pagi, hingga bisa berangkat dari rumah sudah agak siang,

sekitar jam 8:30. Dengan demikian, setiap hari aku mempunyai waktu berdua saja

di rumah dengan Yuli sekitar 2 jam, yaitu dari jam 6:30 sampai dengan jam 8:30.

Praktis cuma hari Minggu, aku tidak bisa berhubungan dengannya, sedang pada

hari Sabtu, aku libur dan istriku masuk kantor sampai jam 1 siang. Sampai

sekarang sudah lima bulan ini Yuli akhirnya bekerja menjadi pembantu tetap di

rumahku, dan kami tetap bercinta dengan frekuensi dua sampai tiga kali

seminggu, namun kami tidak pernah melewatkan hari Sabtu, karena pada hari itu

aku mempunyai lebih banyak waktu untuk menikmati tubuhnya.

TAMAT

Beri Rating: